Dia menyerah.
Siapa yang mengira perasaaan yang hadir dari masing-masing kita membuat saling terluka?
Merencanakan mimpi untuk membangun bahagia bersama. Aku memilih untuk sama kamu kini, dan seterusnya. Aku dan kamu berjanji untuk selalu saling. Kita berusaha untuk menciptakan mimpi bahagia kita berdua. Kamu berjanji akan selalu sama aku.
*tok tok*
“Ra, lagi sibuk apa?”, tanya papa dari luar kamar.
aku segera meraih gagang pintu, membukanya dan menjawab, “lagi ngerjain persiapan buat meeting besok nih, pa.”
“Papa boleh ganggu sebentar? ada yang papa mau bicarakan.”
“Serius banget deh, mau ngomong apa sih, Pa?”
“Kemarin papa ke bengkel habis service mobil, biasalah rutinan. Ternyata papa ketemu om Andre. Kamu masih inget?”
“Oh iya, sahabat SMA papa ya? wah alhamdulillah akhirnya ketemu lagi setelah lama pisah kota ya pa? sekarang dia tinggal di sini?”
“Iya, alhamdulillah.. kemarin om Andre ke bengkel ditemani anaknya. seumuran kamu, yang dulu sering main bareng. Kita ngobrol banyak. Papa cerita tentang kepergian bunda, dan juga tentang kamu.”
“Oh ya? Wah papa pasti seneng banget ya, bisa ngobrol banyak lagi sama teman lama hehe..”
“Ra, papa sepertinya suka dengan anak om Andre. Entah kenapa, Papa yakin kalau dia bisa menjaga kamu, Ra.” Papa mulai terus terang
Mendengar itu, aku mulai bingung dan tidak mengerti tujuan Papa, “Maksud papa gimana? Aku gabutuh bodyguard kali” merespon statement Papa dengan candaan.
“Ra, papa serius.” dengan nada dan mimik wajah yang benar benar serius, melihat dari mata papa yang juga berkaca-kaca.
“Pa, kan papa tau Rara sama Radit. Papa juga tau kita lagi sama-sama berusaha untuk ke tahap hubungan yang lebih serius.” Aku berusaha mengingatkan papa tentang fakta bahwa aku dan Radit memang sedang berjuang untuk hubungan kami.
“Papa tau, tapi sampai kapan papa harus menunggu Radit siap buat kamu?” Ternyata jawaban papa diluar yang aku inginkan. Papa tau tapi ternyata papa memilih untuk tidak mau tau.
“Pa, biar Rara yang tunggu Radit. Papa ga perlu ikut menunggu Radit. Yang akan jalanin semuanya juga aku kan, Pa? Aku bahkan nggak maksa Radit untuk segera. Rara masih mau nunggu Radit sampai kita sama-sama siap.”
“Tapi kamu anak papa. Dan papa udah bilang ke om Andre kalau perjodohan ini akan tetap berlangsung.”
Mendengar itu, darahku mulai naik. Aku tidak bisa lagi membendung emosiku. “Pa, ini hidup Rara. Harusnyaa papa tanya pendapat Rara. Bukan memutuskan sepihak. Papa tau Rara sama Radit. Kok bisa papa memutuskan kehendak Papa atas aku sendirian?”
“Ra, ini pilihan papa yang papa yakini terbaik buat kamu. Papa percaya anak om Andre bisa menjaga dan membahagiakan Rara.”
Aku terlalu marah untuk hal ini, nggak ada lagi kata yang bisa keluar dari mulutku selain “Pa, aku mau sama Radit.”
“Papa, hanya punya kamu. Papa ingin kamu hidup dengan orang yang papa percaya bisa menjaga kamu. Papa akan bilang Radit tentang hal ini.” Ternyata keputusan Papa sudah dititik akhir. Entah hal apa yang membuat papa sepercaya itu bahwa pilihannya adalah yang terbaik.
Setelah mengatakan itu, Papa langsung pergi. Aku? hanya terdiam hingga tanpa sadar air mataku sudah mengalir deras. Pipiku sudah basah. Aku sudah tidak lagi bisa berpikir karena terlalu marah, Papa mengambil keputusan mengenai hidupku tanpa melibatkan pendapat dan keputusanku.
Sehari setelah kejadian malam itu, akupun tidak berani untuk bercerita apapun ke Radit. Aku menyimpannya sendiri. Aku bahkan tidak berani untuk menanyakan apakah Papa sudah memberi tahu dia atau belum. Aku bersikap biasa, begitupun dia. Kami masih saling bersapa melalui text. Hari ini, sepulang kantor Radit menjemputku seperti biasanya. Kami berencana untuk makan sate taichan langganan kami. Malam itu tidak ada hal aneh atau obrolan mengenai perjodohan atau apapun hal yang tidak ingin aku bicarakan. Setelah selesai makan, Radit mengantarku pulang.
Tak terasa, waktu berlalu dan kami sudah sampai di depan rumahku. Radit menghentikan mobil dan parkir di pinggir jalan depan rumah. Kami saling terdiam. Sampai akhirnya Radit membuka suara.
“Ra, kemarin papa telepon aku.”
“Aku gamau bahas ini, kamu tau pilihanku akan selalu kamu. Aku turun sekarang.” Aku bergegas ingin membuka pintu dan menolak untuk membicarakan perihal itu.
Ternyata Radit menarik tanganku, dia menggenggam tanganku.
“Ra, Papa kamu bener. Sampai kapan kamu sanggup nunggu aku?”
Aku ngga nyangka kalimat itu keluar dari mulut Radit, “Maksud kamu apa? Selama ini aku nunggu kamu dengan perasaan yakin dan percaya. Aku akan tunggu kamu sampai kapanpun kita berdua sama-sama siap.”
“Kamu harus liat kenyataan keadaan aku sekarang, Ra.”
Mataku panas, air mataku mulai keluar. “Aku ga butuh sekarang, aku masih bisa dan akan terus nunggu kamu.” memperjelas bahwa aku selalu akan memilih dia.
“Kamu lupa? kita merangkai banyak rencana untuk kita berdua? kamu lupa rencana dan mimpi kita?” Aku masih berusaha mengingatkan Radit tentang banyak hal yang kita impikan sama-sama. Tentang hidup seperti apa yang aku dan dia akan jalani nantinya.
“Ra, mungkin mimpi yang kita rencanakan bareng-bareng bukan harus kamu jalani sama aku.”
“Maksud kamu apa? mimpi itu aku sama kamu yang rencanain!” Aku mulai marah, aku tidak mengerti maksud dan jalan pikiran dia tentang kita.
“Ra…” Radit pun tidak sanggup mengatakan apapun. Kami saling terdiam. hanya ada suara tangisku yang sesenggukan.
“Kamu nyerah?” aku mulai lagi bertanya, untuk tahu pasti apa yang sebenernya ada di dalam pikiran dia.
“Ra, aku minta maaf. Papa kamu benar, pilihan papa kamu yang terbaik buat kamu. Kamu akan lebih bahagia dengan pilihan papa kamu.”
Dadaku sesak, rasanya terlalu sakit. Aku tidak menyangka bahwa dia akan menyerah dari apa yang selama ini sama-sama kita perjuangkan.
Sejauh apapun waktu. Aku berjuang untuk bisa bersama dia. Tapi semua mimpi dan rencana yang kita berdua tulis dan bayangkan lenyap. Radit menyerahkan mimpi dan rencana itu untuk aku wujudkan dengan orang lain. Dia memilih menyerah.
“Aku gatau kalo ternyata kamu semudah ini memilih menyerah. Padahal kamu tau bahagia aku sama kamu. Kamu jahat, Dit!”
Aku keluar mobil, tidak lagi ingin mendengar satu katapun dari Radit. Pembahasan itu selesai, begitupun hubungan kami.
“Maaf, Ra”.